Jika
Allah adalah Dzat Yang Maha Kuat (Al-Qowiy), maka manusia adalah makhluk yang
diciptakan dengan keterbatasan, salah satunya kelemahan. Fitrahnya, manusia
sesungguhnya memiliki kecenderungan untuk mengakui ketidakberdayaannya. Namun,
tak semua manusia mau mengakuinya. Manusia-manusia yang terjebak dalam ketidak
mauan untuk mengakui ketidak berdayaan mengakibatkan benih-benih kesombongan
muncul dalam jiwanya. Maka sifat sombong bukanlah sifat yang terpuji dalam
islam karena ia menafikkan fitrahnya akan ketidak mampuan. Bahkan Allah memberi
sanksi keras untuk orang-orang yang sombong,
“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya
terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” (H.R Muslim)
“Sesungguhnya Dia tidak menyukai
orang-orang yang menyombongkan diri.” (QS. An Nahl: 23)
Orang
sombong yang menafikkan ketidakberdayaan akan jauh dari rasa bahagia. Ia
menganggagap dirinya selalu kuat padahal lemah. Ia menganggap dirinya serba
mampu padahal ada kalanya ia tak kuasa. Ia tak mau disebut lemah. Ia tak mau
dianggap tak berdaya. Padahal, kebahagiaan hidup manusia justru muncul dari
sisi ketidakberdayaannya.
Misalnya, orang yang sedang merindu sebenarnya dalam situasi seseorang yang tidak mampu, yaitu tidak mampu untuk bertemu. Ia ingin bertemu dengan orang yang dirinduinya namun ia tak mampu karena terpisah jarak dan waktu. Maka dalam kerinduannya itu ia dapatkan perasaan bahagia.
Misalnya, orang yang sedang merindu sebenarnya dalam situasi seseorang yang tidak mampu, yaitu tidak mampu untuk bertemu. Ia ingin bertemu dengan orang yang dirinduinya namun ia tak mampu karena terpisah jarak dan waktu. Maka dalam kerinduannya itu ia dapatkan perasaan bahagia.
Seorang
suami yang meninggalkan istrinya beberapa hari untuk suatu keperluan, misalnya.
Pada dasarnya, ia mengalami kondisi tidak berdaya akhirnya berpisah dengan
istrinya. Ketidakberdayaannya itulah memunculkan cinta yang luar biasa. Demikian
juga yang terjadi pada sang istri.
Contoh
lain, orang yang menangis bahagia adalah orang yang bahagia karena
ketidakmampuannya. Ia bahagia lantaran baru saja bertemu. Ia bahagia
karena dapat bertemu, dan menangis karena takut untuk berpisah kembali.
Perasaan takut tak bertemu kembali ini muncul karena ia menyadari bahwa dirinya
tak berdaya untuk selalu bertemu sepanjang waktu. Ini hal yang menarik. Maka,
letak kebahagiaan seorang muslim yang hakiki adalah saat ia mengakui
ketidakberdayaannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Dia adalah
Dzat Yang Maha Perkasa dan Maha Kuat. Allah adalah Dzat yang Maha Mampu. Sedangkan
manusia tidak. Allah adalah Dzat yang Maha Kuasa, sedangkan manusia tidak. Jika
manusia benar-benar sadar akan hal ini, kebahagiaan adalah sesuatu yang mudah
melekat pada hatinya.
Allah
menyuruh manusia untuk berdoa agar manusia ingat ketidak mampuannya. Ketika berdoa manusia memposisikan dirinya dalam
keadaan tidak berdaya. Disitulah letak kebahagiaan hidup seorang hamba jika ia
mau merenungi. Allah mengilhamkan kebahagiaan dalam relung jiwa orang-orang yang
mau merendahkan diri di hadapan Allah dan menyadari ketidak berdayaannya. Allah
mengilhamkan kebahagiaan dalam hidup hamba-hamba-Nya yang mau berdoa karena
Allah akan mengabulkan do’anya jika ia mau meminta.
“Dan Rabbmu berfirman: “Berdoalah
kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (Q.S Al-Mukmin : 60)
Lantaran
ketidak berdayaan pula, manusia selalu bergantung pada Dzat yang Maha Berdaya,
yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. Allah yang Maha Kuat tak akan meninggalkan
hamba-hamba-Nya yang lemah.
“Allah adalah Rabb yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu.”
(Q.S Al-Ikhlas : 2)
Maka,
rendahlah diri kita dan akuilah bahwa kita tidak berdaya. Saat kita berdoa
dalam keadaan mengakui bahwa diri kita tidak berdaya tanpa adanya kuasa Allah,
maka disitulah letak kebahagiaan yang sejati.
Wallahu
a’lam bishowwab
0 komentar:
Post a Comment